08/04/09

Sisa Kerajaan Budha di Tapanuli Selatan

Sisa Kerajaan Budha di Tapanuli Selatan

Kabupaten Tapanuli Selatan (Tapsel) di Sumatera Utara (Sumut), dikenal sebagai daerah dengan mayoritas penduduknya muslim. Tak tanggung, dari sekitar 728.799 ribu penduduknya, sebanyak 90 persen beragama Islam. Nuansa Islam terakumulasi sebagai adat, mulai dari adat perkawinan, masuk rumah, khitanan hingga mengantar jemaah haji.

Kebanyakan masyarakatnya, selalu menggunakan pakaian yang juga mencerminkan nilai-nilai Islam. Lelaki mengenakan peci, atau sekedar lebai saat duduk di warung-warung kopi, bahkan hingga ke Padang Sidempuan, ibukota Tapsel. Sementara kaum ibu mengenakan kebaya atau kain terusan berikut mengenakan selendang. Padahal, arus modrenisasi juga mendera salah satu dari 25 kabupaten dan kota di Sumut ini.

Di setiap sudut, gampang dijumpai bangunan musholla atau mesjid dengan air untuk wuduk yang berasal dari air pancuran gunung. Maklum saja, sebagian besar dari 11.677 kilometer persegi luas wilayah Tapsel merupakan dataran tinggi.

Keidentikannya dengan budaya Islam membuat banyak yang yang tak percaya ketika mengetahui ternyata di kabupaten ini terdapat peninggalan Candi Budha! Tidak main-main, ada 16 candi di kabupaten ini. Keseluruhannya di Situs Purbakala Padang Lawas yang tersebar di empat kecamatan, Barumun, Barumun Tengah, Sosa dan Padang Bolak.

Candi Bahal I

Jangan membayangkan candi-candi itu seperti candi Prambanan atau Borobudur yang masih dipergunakan hingga sekarang. Candi-candi di Situs Padang Lawas masa kini hanya sebagai monumen sejarah dan sudah tidak dipergunakan lagi sebagai sarana beribadat. Misalnya Candi Bahal I.

Candi Bahal I yang berada di Desa Bahal, Kec. Padang Bolak, sekitar 450 kilometer barat daya Medan, ibukota Sumut, merupakan candi terbesar yang telah dipugar. Dikitari ilalang, Candi Bahal I terlihat bagai tugu batas desa. Beberapa pohon rimbun serta sebuah pos jaga di depannya sedikit menutupi papan nama candi di dekat gapura. Bangunan purbakala dari bata merah itu semakin memerah disengat matahari.

Walau berdiri di bukit kecil dan dikelilingi lembah berupa lahan persawahan, Candi Bahal I tidak selalu sepi. Masyarakat sekitar, memang tahu kalau di situ ada komplek percandian. Namun, tiap harinya bisa dikatakan tidak ada pengunjung.

Candi itu memang sepi pengunjung. Bisa dimaklumi sebab angkutan umum ke komplek candi ini relatif jarang dan memakan waktu. Dari Medan, terpaksa tiga kali naik angkutan, Medan – Padang Sidempuan, Padang Sidempuan – Padang Bolak serta Padang Bolak - Desa Bahal, dengan jarak tempuh sekitar 12 jam.

"Candi ini hanya ramai saat Lebaran atau Tahun Baru, itupun karena ada hiburan keyboard, biasanya dikutip Rp 2 ribu per orang. Kalau hari biasa, paling anak-anak muda sekitar kampung, pacaran. Pengunjung dalam sebulan paling banyak 20 orang saja. Kalau turis asing sudah lama tidak ada,” tutur Nashiruddin (28), seorang penduduk setempat.

Kendati merupakan kawasan wisata sejarah, tidak terlihat jejeran kios penjual makanan atau souvenir. Di luar hari libur besar, Candi Bahal I hanya berupa bangunan rapuh setinggi 12,8 meter dengan bayangan hitamnya di siang hari serta aliran Sungai Batang Panai sekitar 50 meter di bawahnya.

Menghadap Tenggara

Berbeda dengan posisi menghadap barat pada candi-candi di Jawa Timur atau menghadap timur pada candi-candi di Jawa Tengah, Bahal I justru dibangun menghadap Tenggara dengan sudut 135 derajat. Tidak diketahui alasannya.

Selain kawat berduri pemagar komplek candi seluas 2.744 meter persegi, di dalam masih ada pagar sepanjang 59 meter berupa susunan bata, mulai dari empat hingga 22 lapis. Dengan begitu, Bahal I merupakan candi terluas yang telah selesai dipugar bersama empat perwara-nya, yakni candi kecil di samping kiri dan depannya berbentuk bujur sangkar, menyerupai altar.

Perwara pertama luasnya 4,9 x 4,9 m dengan tinggi 1,5 m, berada enam meter sebelah timur laut bangunan induk. Perwara kedua merupakan perwara terluas, berada enam meter sebelah tenggara atau berhadapan dengan candi induk. Ukurannya 9,5 x 9,5 m dengan tinggi dua meter. Perwara ketiga terletak 2,20 m sebelah barat daya perwara kedua. Ukurannya 4,65 x 4,65 m dengan tinggi dua meter. Sedangkan perwara keempat ada di barat daya perwara ketiga, tinggi 1,5 meter dengan ukuran paling kecil, yakni 4 x 4 meter.

Sementara bangunan induk candi itu sendiri berdenah bujur sangkar. Di pintu masuk terdapat delapan anak selebar 2,25 meter. Sepasang arca singa terlihat mengapit tangga. Pada bagian tengah bangunan utama terdapat ruang kosong seluas 2,5 m x 2,5 m yang fungsi awalnya diperkirakan sebagai tempat pemujaan.

Kilasan Sejarah

Arkeolog asal Jerman F.M Schnitger yang berkunjung tahun 1935 menyimpulkan, candi itu peninggalan Kerajaan Pannai. Sumber sejarahnya berasal dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Cola I, di India Selatan. Rajendra berhasil menaklukkan Kerajaan Sriwijaya dan beberapa kerajaan lainnya temasuk Kerajaan Pannai. Keberadaan Kerajaan Pannai tercatat dalam Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka.

Dari temuan sejumlah artefak, analisa konstruksi bangunan beserta materialnya yang dominan bata merah dengan ukuran beragam, batuan tuff (batuan sungai) untuk arca dan batuan kapur, memunculkan dugaan kuat bahwa candi ini berkaitan dengan agama Budha beraliran Wajrayana.

“Diperkirakan pembangunan Candi Bahal I beserta candi-candi di sekitarnya, sejaman dengan pembangunan Candi Muara Takus di Riau sekitar abad ke XII Masehi. Bahkan mungkin sama juga dengan sebuah Komplek Candi Mahligai dan Candi Putri Sangkar Bulan di Kab. Pariaman, Sumatera Barat yang sampai sekarang masih belum direnovasi,” kata Kepala Bidang Muskala, Kanwil Depdikbud Sumut, Syaiful A Tanjung.

Alasannya, kata Tanjung, karena proses pemugaran Candi Bahal masih mengikutsertakan arkeolog saja, sedangkan ahli sejarah tidak. Sehingga belum bisa disimpulkan kapan waktu berdirinya. Proses pemugaran masih berlangsung sampai sekarang.

Penulis yang sempat berkunjung ke Candi Muara Takus di Kabupaten Kampar, Riau, memang melihat ada kemiripan dari segi konstruksi maupun penggunaan batu bata sebagai bahan utama bangunan. Bata juga menjadi bahan bangunan dominan 61 candi di Komplek Situs Kepurbakalaan Muarajambi di Jambi.

Sebenarnya di Nanggroe Aceh Darusslam (NAD) masih berdiri satu candi bata, yakni Candi Indrapuri. Candi Hindu ini berada di Indrapuri, sekitar 25 kilometer arah timur Banda Aceh, ibukota NAD. Setelah berubah jadi Masjid Jami’ Indrapuri, terjadi beberapa perubahan bentuk.

Tembok tebal pemagar masjid merupakan bagian asli candi yang masih tersisa. Candi Indrapuri awalnya merupakan sebuah candi khusus untuk peribadatan kaum wanita. Kerajaan Lamori membangun Candi Indrapuri sekitar abad XII bersama Candi Indrapatra dan Indrapurwa. Namun dua candi terakhir sudah tidak terlihat lagi.

Relief tak Utuh

Satu hal yang agak memprihatinkan mengenai Candi Bahal I adalah pemugarannya, karena tidak begitu berhasil menunjukkan bagaimana ujud candi itu sebelumnya. Misalnya renovasi terhadap relief Yaksa dalam posisi sedang menari, di sebelah kiri pipi tangga candi. Bagian kepalanya sudah hilang.

Batu bata baru terlihat dipasang rata seperti membangun rumah! Tak ada ukiran baru mengikuti garis kepala Yaksa yang telah hilang! Untungnya 3 relief Yaksa di pipi kanan tangga masih asli. Kendati ada sedikit perbedaan pada tatahannya, namun dapatlah menjadi bahan perbandingan.

Sebenarnya relief terdapat pada setiap sisi candi. Ada enam relief singa pada dinding-dinding candi. Namun kini hanya beberapa bagian saja yang masih terlihat. Selebihnya berupa susunan batu bata baru. Ketika diresmikan Gubernur Raja Inal Siregar pada 26 Desember 1991, pemugaran itu tidak berhasil meniru aslinya.

Pemugaran terlihat lebih baik pada bagian dalam atas (atap) candi. Bentuknya lapik tiga lapis berupa susunan 21 batu bata. Berdenah bujur sangkar pada beberapa puluh centimeter pertama dan mengkerucut di bagian dalam. Sedangkan dari luar, atap berbentuk lingkaran. Renovasi keempat perwara tampak lebih baik, mungkin karena tak ada relief yang harus direkonstruksi.

"http://khairulid.multiply.com/journal/item/23"

Daftar Nama Sekolah di Mandailing Natal

DAFTAR NAMA SEKOLAH TINGKAT SD DAN SLTP
DI KABUPATEN MANDAILING NATAL

NO. NAMA SEKOLAH ALAMAT SEKOLAH TINGKAT
PEND.
01 MIS AHMAD PINTU PADANG JULU DESA PINTU PADANG JULU MI
02 MIS AL WASHLIYAH KP.SIHEPENG DS.SIHEPENG MI
03 MIS ALI HASAN AHMAD PINTU PADANG MI
04 MIS GUPPI KAMPUNG AEK MUAL DESA AEK MUAL MI
05 MIS GUPPI KAMPUNG HURABA I DESA HURABA I MI
06 MIS GUPPI KAMPUNG SIMANGGIR DESA SIMANINGGIR MI
07 MIS GUPPI KAMPUNG HUTA PULI DESA HUTA PULI MI
08 MIS GUPPI HURABA DESA HURABA I MI
09 MIS GUPPI LUMBAN DOLOK DESA LUMBAN DOLOK MI
10 MIS GUPPI PINTU PADANG DESA PINTU PADANG JAE MI
11 MIS GUPPI SIMANGIS DESA SIMANGIS MI
12 MIS GUPPI SIMANINGGIR DESA SIMANINGGIR MI
13 MIS GUPPI SINONOAN DESA SINONOAN MI
14 MIS GUPPI TILAMRIYAH SINGALI PSP BARAT MI
15 MIS ISLAMIYAH DESA TANGGA BOSI MI
16 MIS ISLAMIYAH TANGGA BESI MI
17 MIS MA'ARIF JL.SUTAN MUHAMMAD ARIF MI
18 MIS MAKHADU ISLAHIDI DESA HUTABARINGIN MI
19 MIS MUHAMMADIYAH JL.SM RAJA MI
20 MIS MUSLIMIN GG RAYA DEA BATANG MI
21 MIS NU BONAM DOLOK MI
22 MIS NU KP.SIMANGAMBAT DESA SIMANGAMBAT MI
23 MIS NURUL HIDAYAH KP.LLNG.BORONG SIMARN PINGGAN MI
24 MIS NURUL YAQIN JL. TITIPAN NAULI NO.76 PSP MI
25 MTsN SIABU JL. MEDAN PADANG KEL. HURABA I MTs
26 MTsS 8 SIABU JL. SUTAN KUMALASIAN NASUTION NO.368, DS. SIABU MTs
27 MTsS GUPPI JL.KARYA DESA SIMANINGGIR MTs
28 MTsS GUPPI KAMPUNG HURABA DESA HURABA I MTs
29 MTsS HURABA KP.PINTU PADANG JULU MTs
30 MTsS ISLAMIYAH DK.VI TANGGABOSI RT VI MTs
31 MTsS MUHAMMADIYAH 8 JL.SUTAN KUMALISIAN 368 MTs
32 MTsS NU DS. SIHEPENG MTs
33 MTsS NU SIMANGAMBAT DK. SIMANGAMBAT DS. SIMANGAMBAT MTs
34 MTsS NURUL HUDA DESA.SIMANGAMBAT MTs
35 MTsS SYEKH ALIHAN KP.PINTU PADANG JULU DS.PINTU PADANG JULU MTs
36 SDN 142541 SIABU DS. SIABU SD
37 SDN 142542 SIHEPENG DS. SIHEPENG SD
38 SDN 142543 SIHEPENG DK. DELALPAN DS. SIHEPENG SD
39 SDN 142549 SIMANGAMBAT DS. SIMANGAMBAT SD
40 SDN 142552 HURABA DS. HURABA I SD
41 SDN 142555 LUMBANDOLOK DS. LUMBAN DOLOK SD
42 SDN 142560 PINTU PADANG JULU DS. PINTU PADANG JULU SD
43 SDN 145599 SIABU DS. SIABU SD
44 SDN 146992 BONAN DOLOK BATU GANA SD
45 SDN 147544 DS. MUARA BATANG ANGKOLA SD
46 SDN 147546 TANJUNGSIALANG DS.TANGGABOSI I DK. TANJUNG SULANG SD
47 SDN 147547 SINONOAN KAMPUNG SINONOAN DS. SINONOAN SD
48 SDN 147888 SIMANGAMBAT DS. SIMANGAMBAT SD
49 SDN BONAN DOLOK KAMPUNG BONAN DOLOK DS.BONAN DOLOK SD
50 SDN LUMBAN DOLOK KAMPUNG LUMBAN DOLOK DESA LUMBAN DOLOK SD
51 SDN NO. 142550 LUMBAN PINASA KP.LUMBAN PINASA DS.LUMBAN PINASA SD
52 SDN NO. 146950 HUTARAJA HUTARAJA DESA HUTARAJA SD
53 SDN NO. 147889 HURABA DESA.HURABA I SD
54 SDN NO.142540 SIABU DESA SIABU SD
55 SDN NO.142544 SIHEPENG KAMPUNG SIHEPENG KEL. SIHEPENG SD
56 SDN NO.142545 SIBARUANG DS. SIBARUANG SD
57 SDN NO.142546 HUTARAJA DESA HUTARAJA SD
58 SDN NO.142547 HUTAPPULI DS. HUTAPULI SD
59 SDN NO.142548 SIMANGAMBAT DS. SIMANGAMBAT SD
60 SDN NO.142551 BONANDOLOK DS. BONANDOLOK SD
61 SDN NO.142553 HURABA KAMPUNG HURABA DESA HURABA I SD
62 SDN NO.142554 LUMBAN DOLOK DS. LUMBAN DOLOK SD
63 SDN NO.142556 SINONOAN DS. SINONOAN SD
64 SDN NO.142557 TANGGABOSI DS. TANGGABOSI I SD
65 SDN NO.142558 TANGGABOSI DUSUN VII DS. TANGGABOSI SD
66 SDN NO.142559 HUTAGODANG MUDA KAMPUNG HUTAGODANG MUDA KEL. HUTAGODANG MUDA SD
67 SDN NO.142565 AEK NAULI KAMPUNG AEK NAULI SD
68 SDN NO.142568 SIMANINGGAR KAMPUNG SIMANINGGAR DESA SIMANINGGAR SD
69 SDN NO.144446 LUMBANDOLOK DS. LUMBAN DOLOK SD
70 SDN NO.144447 PINTUPADANG JAE KAMPUNG PINTUPADANG JAE KEL. PINTUPADANG JAE SD
71 SDN NO.144448 TANGGABOSI DS. TANGGABOSI SD
72 SDN NO.144449 SIMANGAMBAT LINGKUNGAN VIII KEL. SIMANGAMBAT SD
73 SDN NO.145600 HUTAGODANG MUDA DS. HUTAGODANG MUDA SD
74 SDN NO.145601 BONANDOLOK BONANDOLOK KEL. BONANDOLOK SD
75 SDN NO.145856 AEK GARUT DESA AEK GARUT SD
76 SDN NO.146276 HUTARAJA KP.HUTARAJA KEL. HUTARAJA SD
77 SDN NO.146277 SIHEPENG DS. SIHEPENG SD
78 SDN NO.14692 AEK MUAL KAMPUNG AEK MUAL DS.AEK MUAL SD
79 SDN NO.146942 AEKMUAL DESA AEKMUAL SD
80 SDN NO.146944 HUTAPULI KAMPUNG HUTAPULI KEL. HUTAPULI SD
81 SDN NO.146945 SIMANGAMBAT KAMPUNG SIMANGAMBAT DESA SIMANGAMBAT SD
82 SDN NO.148359 HUTABARINGIN KP.HUTABARINGIN KEL. HUTABARINGIN SD
83 SDN SIMANINGGIR KAMPUNG SIMANINGGIR DS.SIMANINGGIR SD
84 SDS MUH. SIBARUANG DS. SIBARUANG SD
85 SDS MUH. SIMANGAMBAT KAMPUNG SIMANGAMBAT DS. SIMANGAMBAT SD
86 SDS NU SIBARUANG DS. SIBARUANG SD
87 SLTPN 1 SIABU KAMPUNG SIABU KEL. SIABU SLTP
88 SLTPN 2 SIABU DI SIHEPENG DS. SIHEPENG SLTP
89 SLTPN 3 SIABU DSN DELAPAN KEL. HURABA I SLTP
90 SLTPN 4 SIABU KAMPUNG SIABU DESA SIABU SLTP
91 SLTPN 5 SIABU KAMPUNG HUTARAJA DESA HUTARAJA SLTP
92 SLTPN HURABA JL. MURABA SLTP
93 SLTPN NOMPANG HUMBANG SLTP
94 SLTPN SIABU KAMPUNG SIABU DS.SIABU SLTP
95 SLTPN SIBARUANG KAMPUNG SIBARUANG DS.SIBARUANG SLTP
96 SLTPN SIHEPENG JL.SIHEPENG DESA SIHEPENG SLTP
97 SLTPN V SIABU JL. HUTA RAJA DS.SIABU SLTP
98 SLTPS BARKAT KAMPUNG BARU SLTP
99 SLTPS MUHAMMADIYAH 30 SIHEPENG KAMPUNG SIHEPENG DESA SIHEPENG SLTP
Sumber : ©2007 www.gn-ota.or.id

02/04/09

Asal Mula Kolam Sampuraga

Berbagai cerita rakyat tentang legenda anak durhaka telah disajikan dalam portal ini. Di antaranya Si Lancang dan Batang Tuaka dari Riau, serta Putmaraga dari Kalimantan Selatan. Dalam legenda tersebut si Lancang dikutuk menjadi danau; Tuaka dikutuk menjadi burung elang; dan Putmaraga dikutuk menjadi burung punai. Cerita rakyat berikut ini mengisahkan tentang asal mula Kolam Sampuraga yang terdapat di daerah Padang Bolak, Kabupaten Madina (nama lain dari Mandailing Natal), Sumatera Utara, Indonesia.

Menurut masyarakat setempat, Kolam Sampuraga merupakan penjelmaan dari seorang pemuda bernama Sampuraga, yang dikutuk oleh ibu kandungnya sendiri. Kenapa Sampuraga dikutuk? Ingin tahu sebabnya? Ikuti kisahnya dalam cerita rakyat Asal Mula Kolam Sampuraga berikut ini!

* * *

Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.

“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran.

“Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan.

Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan.

Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.

“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya.

“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya.

“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.

“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru.

“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu.

Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! Jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

“Ya, berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.

Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.

Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.

“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.

Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan[1] dan Gordang Boru[2] yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya-raya.

“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.

“Sampuragaaa…!”

Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.

Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.

“Sampuragaaa…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.

“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.

Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa:

“Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri.”

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.

Demikian cerita Asal Mula Kolam Sampuraga dari daerah Mandailing, Sumatera Utara.

* * *

Cerita di atas termasuk cerita rakyat teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan suri teladan dalam kehidupan sehari-hari. Setidaknya ada tiga pesan moral yang dapat diambil sebagai pelajaran dari cerita di atas, yaitu: sifat rajin bekerja, sifat jujur dan sifat durhaka terhadap orang tua. Ketiga sifat tersebut tercermin pada sifat dan perilaku Sampuraga.

Sifat rajin bekerja dan jujur sangat dijunjung tinggi dalam kehidupan orang-orang Melayu. Keutamaan kedua sifat ini dapat dilihat pada syair orang Melayu berikut ini:

Pertama, keutamaan sifat rajin bekerja. Dalam untaian syair dikatakan:

wahai ananda cahaya mata,
rajin dan tekun dalam bekerja
penat dan letih usah dikira
supaya kelak hidupmu sejahtera

Kedua, keutamaan sifat jujur. Dalam untaian syair dikatakan:

wahai ananda buah hati bunda,
hiduplah jujur jangan durhaka
jauhkan bohong haramkan dusta
supaya hidupmu tiada ternista

Adapun sifat durhaka terhadap orang tua sangat dipantangkan dalam kehidupan orang-orang Melayu, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan berikut ini:

kalau suka berbuat durhaka,
orang benci tuhan pun murka

Danau Toba


Danau Toba adalah sebuah danau vulkanik sebesar 100km x 30km di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di tengahnya terdapat sebuah pulau vulkanik bernama Pulau Samosir.
Danau Toba sejak lama menjadi daerah tujuan wisata penting di Sumatera Utara selain Bukit Lawang dan Nias, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Diperkirakan Danau Toba terjadi saat ledakan sekitar 73.000-75.000 tahun yang lalu dan merupakan letusan supervolcano (gunung berapi super) yang paling baru. Bill Rose dan Craig Chesner dari Michigan Technological University memperkirakan bahwa bahan-bahan vulkanik yang dimuntahkan gunung itu sebanyak 2800km3, dengan 800km3 batuan ignimbrit dan 2000km3 abu vulkanik yang diperkirakan tertiup angin ke barat selama 2 minggu.

Kejadian ini menyebabkan kematian massal dan pada beberapa spesies juga diikuti kepunahan. Menurut beberapa bukti DNA, letusan ini juga menyusutkan jumlah manusia sampai sekitar ribuan saja.

Setelah letusan tersebut, terbentuk kaldera yang kemudian terisi oleh air dan menjadi yang sekarang dikenal sebagai Danau Toba. Tekanan ke atas oleh magma yang belum keluar menyebabkan munculnya Pulau Samosir.

Peta Mandailing Natal